Selasa, 06 Desember 2011

PENERAPAN PERATURAN INTERNASIONAL ISPS CODE DI INDONESIA

Posisi strategis Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dimanfaatkan secara maksimal sebagai modal dasar pembangunan Nasional.


Peluang devisa dilaut yang begitu besar belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh pihak-pihak Pemerintah maupun swasta. Sehingga Negara-Negara lain memanfaatkan peluang-peluang tersebut.

Kesinambungan dan peningkatan aktifitas pemakai jasa pelabuhan harus diiikuti perwujudan keselamatan dan keamanan pelayaran Kapal Penumpang, Barang, Cargo muatan kapal laut, maka faktor pengaturan untuk bidang keselamatan dan keamanan pelayaran yang memuat ketentuan untuk mengantisipasi kemajuan teknologi dengan mengacu pada konvensi Internasional cenderung menggunakan peralatan mutahir pada sarana dan prasarana keselamatan pelayaran. Disamping harus mengakomodasi ketentuan mengenai sistem keamanan yang termuat dalam International Ship and Port Security Code (ISPS Code).

Peristiwa 11 September 2001 yang dikenal dengan 911, telah membuat dunia maritim merubah sudut pandang yang semula setiap pengoperasian kapal atau pelabuhan aturan International tentang keselamatan merupakan faktor utama yang harus dipenuhi, tetapi setelah 1 Juli 2004 International Maritime Organzation (IMO) mengamandement Konvensi SOLAS-74-Pada BAB XII 2 tentang ISPS Code, maka dunia maritim pada saat ini faktor keselamatan dan keamanan merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi.

International Maritime Organization, sebagai badan internasional yang bertanggungjawab terhadap masalah maritim mengambil langkah progresif melalui konferensi pada Desember 2002 di London, yang kemudian menetapkan International Ship and Port Facility Security Code atau yang dikenal dengan nama ISPS Code sebagai amandemen dari SOLAS 1974. Amandemen ini membuat SOLAS tidak hanya memberikan perhatian untuk masalah Keselamatan Jiwa di Laut, akan tetapi juga masalah Keamanan (Security) di Pelabuhan (Darat).

Sebagai penanggung jawab terhadap implementasi ISPS Code di Indonesia telah ditunjuk sesuai Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 3 tahun 2004 adalah Direktur Jenderal Perhubungan Laut selaku Designited Authority (DA), dan karenan kesibukan Dirjen Hubla, maka sebagai penanggung jawab harian implementasi ISPS Code dipercayakan kepada Direktur Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) yang saat ini di jabat oleh Capt. Djoni A. Algamar.

Tidaklah mudah menerapkan suatu aturan baru yang notabene melibatkan banyak pihak yang terkait, karena secara phisikologis aturan setingkat Menteri dapat melemahkan perangkat aturan yang lebih tinggi seperti Peraturan Pemerintah dan Undang-Undang.
Peran dan fungsi suatu institusi pemerintah, khususnya yang menangani masalah keamanan sepertinya belum terkoordinasi dengan baik, sehingga terkesan adanya tumpang tindih bahkan terkadang mengabaikan konvensi Internasional seperti ISPS Code. Namun demikian, institusi-institusi tersebut tidak berarti diabaikan begitu saja, karena keberadaannya dipayungi hukum perundang-Undangan, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Menteri yang bersangkutan, sehingga untuk mengabaikan aturan induknya adalah tidak mungkin dan untuk melaksanakan aturan lainnya merupakan hal yang tidak mudah. Tentunya implementasi dari ketentuan tersebut memerlukan kerjasama dan pemahaman yang efektif dan terus menerus antara semua yang terkait, kapal dan fasilitas pelabuhan.

Dilematis memang, antara kenyataan dan aturan yang harus dijalankan, khususnya aturan Internasional, contoh kecil tentang aturan yang harus dipenuhi adalah : Dalam Kawasan lini 1, pelabuhan seharusnya tidak ada kegiatan pabean. Karena kawasan lini 1 merupakan daerah terbatas yang harus sterile. Di kawasan daerah terbatas harus betul-betul terindentifikasi dengan menggunakan ”special ID”, seperti yang telah diatur dan ditetapkan dalam PFSP (Port Facility Security Plan), untuk itu mari kita lihat aparat - aparat yang berkepentingan diwilayah terbatas (Restricted Area), apakah menggunakan special ID? Tetapi lebih menonjolkan Uniform masing-masing, daripada ID tersebut. Hal seperti itu dapat dilihat dengan mudah oleh pihak United Stated Coast Guard (USCG), sehingga pada saat dilakukan kunjungan untuk melakukan penilaian terhadap fasilitas pelabuhan yang menerapkan ISPS Code akan melihat “Bagaimana jika ada ancaman”. Pada 22 (dua puluh dua) PF (Port Facility) yang comply ISPS Code, di temukan 6 PF (Port Facility) yang tidak optimal menerapkan ISPS Code. Sebetulnya ISPS Code telah menyatakan bahwa untuk Comply ISPS Code tergantung dari DA / Pemerintah yang bersangkutan dan tidak ada intervensi dari Negara manapun, tetapi pada kenyataannya, Amerika, karena mempunyai aturan tentang Maritime Transportation Security Act, dengan dalih pertahanan, maka Amerika mempunyai kewenangan melakukan Assessment terhadap pelabuhan asal yang kapalnya singgah di Pelabuhan Amerika dan apabila ditolak, maka Pemerintah Amerika akan memberlakukan PSA terhadap semua kapal yang berasal dari Negara yang menolak Assessment tersebut. Tentu saja hal ini akan berdampak pada kredibilatas pelabuhan di Indonesia. Julukan ”Black Area ” akan disandang oleh Pelabuhan Indonesia, apabila tidak menyikapi kehadiran USA untuk mengakomodir Assessment tersebut.

Keberhasilan penerapan ISPS Code pada akhirnya sangat bergantung pada kondisi suatu bangsa. Ada tiga kesimpulan yang dapat dipakai sebagai parameter untuk menilai penerapan ISPS Code disuatu negara, yaitu :
1. Sistim, peralatan dan teknologi yang dimiliki suatu negara;
2. Budaya masyarakat (culture) dan
3. Tingkah laku masyarakatnya (attitude).

Kami mengharapkan dalam dunia maritim tidak menjalani hambatan ataupun kendala, khususnya menjelang masa pembaharuan (Renewal), karena Implementasi ISPS Code telah memasuki masa Intermediate kedua akhir tahun 2011 ini

.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar